Fanfict Series : Octi dan Aku (Part 3)

Image from : @Octi_JKT48

Jumat, 15 Maret 2013
                Hari itu bermula dari hujan deras yang mengguyur ibukota. Basah terlihat disana-sini. Apotek tempatku bekerja jadi terasa sepi. Hanya segelintir orang yang keluar-masuk membeli beberapa jenis obat. Aku tetap saja terbayang senyum Octi kemarin. Ah, manis sekali. Aku harus cek darah, siapa tahu diabetes. Hari ini ada jadwal teater, tapi aku tidak dapat tiket. Jadi, aku renungi saja hariku siang itu. Kemudian ada seseorang datang,
“Permisi Mas, cari obat Asmex ada nggak?”
“Oh, ada, untuk siapa ya?”
Gadis itu memakai tudung untuk menutup kepalanya, siapa dia? Gumamku.
“Untuk teman, ini titipan. Ada kan?”
“Ada kok, harganya 25 ribu,”
“Oh, ini uangnya, terimakasih mas,”
“Iya, silahkan,”
Aku sodorkan obat beserta struknya. Ketika dia keluar, aku lihat ada secarik kertas kecil tertinggal. Hendak aku panggil dia, tapi dia buru-buru pergi. Kulihat dengan seksama, seperti surat yang berisi beberapa kalimat. Bunyinya begini :
“Mas, suaramu keren banget.Aku suka. Kapan nyanyi lagi? Aku tunggu aksi selanjutnya ya,
Salam. Octi. J ”
Apa? Dari Octi? Jadi gadis tadi adalah oshimen yang sedari tadi aku fikirkan. Ah, aku menyesal tak mengajaknya ngobrol lebih lama. Ah, galau! Tapi sudahlah, yang penting dia datang, ternyata dia suka suaraku. Itu modal bagus. Siapa tahu kita bisa bersahabat, atau, ah, tak mau kufikir dulu. Jadilah sore itu aku baca terus berulang surat kecil itu. Selama tak ada pasien tentunya, dan tanpa diketahui oleh teman kerjaku yang lain.
Hari berganti sore, dan malam. Kuperhatikan timeline twitter dari hape chinaku, ternyata malam ini di teater akan diumumkan pembentukan tim K, K-III tepatnya. Bagaimana ya, wajah bahagia Octi? Sayang aku melewatkannya. Cuma kertas kecil yang kugenggam, jadi pelipur sore itu. Kemudian tepat sudah pukul 10 malam, aku pulang. Ku nyalakan motor supra warna merah itu, lalu aku pacu rendah saja. Malam itu jalanan cukup lengang, karena  jam pulang kantor sudah lewat, jadi santai saja. Aku pulang melewati f(X), masih agak ramai. Kulihat beberapa orang fans JKT48 yang masih berkumpul di beberapa titik. Mereka baru saja keluar dari teater pasti. Ah, aku jadi iri. Ternyata ada kawanku sesama fans, Aditya yang kebetulan malam itu dapat tiket. Kudekatkan motorku di kerumunannya.
“Dit, gimana teater nih malem? Rame ga?”
“Eh elu far, iya nih, lumaya rame, keisi penuh tadi. Oh iya, tadi ada pembentukan tim K, elu kok ga nonton? Katanya oshimennya si Octi,”
“Ye, ga dapet tiket nih.. Ya kerja aja kan,”
“Ooh gitu, ya udah deh, mau balik lu? Nebeng ye, sampe depan sono aja.”
Sudah kuduga. Tapi, biarlah. Toh malam ini aku tak buru-buru pulang.
“Okedeh, naik!”
                Kupacu motorku lagi. Sampai di perempatan terdekat, Aditya turun. Jadilah aku melanjutkan perjalanan menuju rumah. Di tengah perjalanan, kulihat ada mobil yang berhenti di pinggir. Kukira ban mobil itu bocor, karena sopirnya sedang mengecek kondisi ban. Aku hampiri saja, ingin kubantu, karena kulihat orang itu bekerja sendiri.
                “Mas, kenapa ban mobilnya? Bocor?
                “Iya nih, padahal dari tadi masih baik-baik aja,”
                “Saya bantu cek deh mas, kalo perlu ke bengkel bisa nanti sama saya,”
                “Wah, makasih banyak ya, soalnya dari tadi jarang orang lewat,”
                Kulihat mobilnya, Avanza keluaran 2010. Warnanya putih metalik. Keren juga. Kelihatannya orang cukup berada yang memilikinya. Mengingat sudah memakai sopir segala.
                “Gimana pak, mobilnya bisa dibenerin?”
Suara yang tidak asing. Ingin aku tidak percaya, tapi mata ini tidak bohong. Rabun juga tidak. Itu Octi! Ah, aku benar beruntung!
                “Bisa kok neng, Cuma bawa ban ini ke bengkel deket situ, depan. Neng mau disini atau gimana?”
                “Aku takut nih kalo cuma berdua sama mama. Loh, masnya ya! Namanya, ehm, Mas Ghifar ya! Ketemu lagi..”
Ah, manis. Tetap saja aku jadi terdiam-bengong lebih tepat- sembari memandangnya. Aku senang dia masih ingat padaku.
                “Mas? Halo? Kok bengong?”
                “Ah, nggak. Cuma seneng aja bisa ketemu lagi. Ternyata mobil kamu yang bocor. Tuh, bengkelnya deket kok. Kamu buru-buru pulang?”
                “Iyanih, besok sekolah masuk pagi, gimana kalo mas anterin aku pulang? Bisa?”
                “Bisa dong! Dengan senang hati!”
Aku sudah girang rasanya. Lebih senang dari menerima gaji dua kali lipat sekalipun. Tapi tiba-tiba,
                “Apaan sih kamu sayang? Masa mau minta tolong sembarangan gitu!”
Mama Octi muncul dari dalam mobil. Nampaknya dia tidak cukup senang dengan kehadiranku.
                “Pak Joyo, itu masih lama nggak?”
                “Anu bu, ini tinggal bawa ke bengkel depan sebentar, “
                “Oke lah, kita nunggu sebentar,”
Jadilah aku antar Pak Joyo, sopir keluarga Octi, ke bengkel itu sambil membawa ban mobil yang sudah sama-sama aku dan beliau lepas tadi. Sampai disana, ternyata ada beberapa bagian yang harus ditambal, jadi perlu waktu beberapa lama. Aku diminta Pak Joyo untuk kembali ke mobil, biar belia yang menunggu. Jadilah aku kembali kesana.
                “Ehm, bu, itu menunggu bannya masih beberapa lama, bagaimana?”
                “Wah, anak saya keburu  ngantuk nih, besok masuk pagi lagi, hem..”
                “Udah mah, aku biar dianter mas Ghifar aja, dia orang baik kok, dia yang nyanyi waktu itu lho..”
                “Iya mama tau, tapi kan kamu baru kenal!”  Kali ini Nadanya sedikit tinggi.
                “Ayolah ma.. Aku keburu ngantuk nih, tugas kan numpuk banyak. Disini juga jarang ada taksi lewat. Ayolah ma?”
                “Oke, tapi kamu, jangan coba macem-macem sama anak saya ya!”
Mama Octi sedikit mengacung kearahku. Nampaknya dia tak begitu ikhlas melepas anaknya untuk aku antar. Padahal kan niatku tulus. Kapan lagi bisa mengantar pulang oshimen.
                “Siap tante! Kalau ada yang mencurigakan dari saya silahkan lapor polisi..” Aku kembangkan senyumku seikhlas mungkin.
                Akhirnya beliau izinkan aku untuk mengantar Octi, dengan beberapa wejangan khusus pastinya. Juga aku diberi secarik alamat untuk memastikan tidak tersasar. Baiklah, perjalanan menyenangkan dan membahagiakanku akan segera mulai. Aku beruntung juga tadi membawa helm cadangan dari kontrakan.
                “Ayo deh, Octi. Aku anter sekarang aja, takutnya keburu malem.”
                “Iya mas!” Duh, cantik betul dia dari dekat begini. Untung aku tidak pingsan.
                Oke, perjalanan dimulai.
(Bersambung ke Part 4)
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Ghifari's Own Desk - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger